soal :
1. buat tulisan tentang pentingnya pendidikan kewenegaraan pada tingkat pendidikan universitas
2. bagaimana konsep demokrasi di indonesia
3. apa yang di maksud denganpemerintah pusat, wilayah dan daerah
jawab :
1. Pentingnya Pendidikan
Kewarganegaraan di universitas
Secara yuridis, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan
di perguruan tinggi atau universitas cukup kuat, dan sebagai mata kuliah yang
wajib diikutioleh seluruh mahasiswa.
Hal itu tampak jelas dalam pasal 37 Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan tuntutan dan
perubahan masyarakat di era reformasi, mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, telah dilakukan
perubahan paradigma menuju kepada paradigma humanistik yang
mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang
mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Indikasi ke arah itu
tampak dari substansi kajian, strategi, dan evaluasi mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang ditawarkan kepada mahasiswa. Sementara itu,dalam
mengantisipasi tuntutan global, pembelajaran diorientasikan agar paramenangkal
dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan ekspansi pasar perlu diimbangi
kebebasan politik Pancasila sehingga mahasiswa sadar dan mampu
memperjuangkan hak-hak politiknya secara benar, rasional dan bertanggung jawab.
Upaya ke arah itu dapat dilakukan dengan mengisi dan memantapkan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan memberi
kemampuan kritis kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa secara sadar dan jujur
melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat globalisasi. Pendahuluan UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaandan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan
kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat
strategis dalam pembentukan nation and character building. Namun
demikian, dalam pelaksanaannya ia sangat rentan terhadap bias politik
praktis penguasa, sehingga cenderung lebih merupakan
instrumen penguasa daripada sebagai wahana pembentukan watak bangsa. Hal yang
hampir sama terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang seperti
dikemukakan oleh (Cogan dalam Suryadi dan Somardi, 2000) menyatakan It
(citizenship education) has also opten reflected the interests of those in
power in a
particular society and thus has been a matter of indoctrination and the
establishment of ideological hegemony rather than of education.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dari era
otoritarian ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan
telah menggantikan Pendidikan Kewiraan karena sudah tidak relevan dengan
semangat reformasi dan demokratisasi. Mata kuliah Pendidikan Kewiraan
ditinggalkan karena berbagai alasan, antara lain sebagai berikut.
(1) karena
pola pembelajaran yang indoktrinatif dan monolitik. (2) muatan materiajarnya yang sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru)
(3) mengabaikan dimensi
afeksi dan psikomotor. Dengan demikian Pendidikan
Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi.Menyadari
realitas tersebut, diperlukan upaya rekonstruksi dan reorientasi Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education) sebagai substitusinya. Upaya substitusi
mata kuliah pendidikan Kewiraan menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak bisa lepas dari konteks
ikhtiar kalangan perguruan tinggi untuk menemukan format baru pendidikan
demokrasi di Indonesia sekaligus mengantisipasi tuntutan
global.Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga-lembaga
kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur
perpolitikan, perekonomian, sosial budaya, dan pertahanan keamanan
global.Isu-isu global seperti demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup
turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi juga ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di
bidang informasi, komunikasi, dan transportasi membuat dunia menjadi
transparan seolah-olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas negara.
Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan tindakan masyarakat
Indonesia. Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan
(civic education) pada
masa reformasi ini haruslah benar-benar dimaknai sebagai jalan yang
diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan
demokrasi,
good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang
relevan dengan tuntutan global. Tentunya ekspektasi ini harus disertai
dengan tindakan nyata bangsa ini, khususnya kalangan Perguruan Tinggi
untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan Pendidikan
Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat penting artinya bagi
penumbuhan budaya demokrasi di Indonesia.Untuk mencapai tujuan
pendidikan kewarganegaraan seperti tersebutdi atas, sangat dibutuhkan model dan
strategi pembelajaran yang humanistik
yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang
mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Mahasiswa
diposisikan sebagai subjek, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan
mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan kebutuhan dasar mahasiswa,
bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat
kontekstual dan relevan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat lokal,
nasional, dan global. Pembahasan Esensi dan Eksistensi Pendidikan
Kewarganegaraan
Menurut (Azra dalam ICCE, 2003) bahwa istilah Pendidikan
Kewargaan pada satu sisi identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan.
Namun disisi lain, istilah Pendidikan Kewargaan secara substantif
tidak sajamendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan
sadar akan
hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan
Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara
menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi
Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada
Pendidikan Kewarganegaraan.Sejalan dengan itu, (Zamroni dalam ICCE, 2003)
berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang
bertujuan
untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak
demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru
bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang palingmenjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu
learning process
yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain.
Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai
demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu
proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang
mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan
memiliki
poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy
dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik
secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa. Menurut
Soedijarto (dalam ICCE, 2003) mengartikan Pendidikan Kewarganegaraansebagai
pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi
warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem
politik yang
demokratis.Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan keberadaanya secara
yuridis cukup kuat, hal ini dapat dilihat dalam UU
No. 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakan
bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan
Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa
pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam
pembentukan nation and character building. Sebelum lahirnya Undang-Undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah dikeluarkan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan No. 45/U/2002
tentang kurikulum pendidikan tinggi berbasis kompetensi
(KBK), yang dipertegas lagi dengan Keputusan Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002 tentang rambu-rambu
pelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi.Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan kejelasan hasil didik
sebagai seseorang yang kompeten dalam hal, yakni (1) menguasai
pengetahuan dan keterampilan tertentu, (2) menguasai penerapan ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam bentuk kekaryaan, (3) menguasai sikap
berkarya,
(4) menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan
bermasyarakat dengan pilihan kekaryaan.Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruantinggi
bertujuan membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama
dan kebudayaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam
menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikuasainya dengan
rasa tanggung jawab kemanusiaan.
Dalam konteks mata kuliah
pengembangan kepribadian kompetensi yang dimaksud merupakan
kemampuan dan kecakapan yang terukur setelah mahasiswa mengikuti
proses pembelajaran secara keseluruhan yang meliputi kemampuan
akademik, sikap dan keterampilan. Dalam pembelajarannya minimal
mencapai kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal
terdiri atas tiga jenis, yaitu Pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan
pengetahuan yang terkait dengan materi inti. Kedua,
kecakapan dan kemampuan sikap. Ketiga, kecakapan dan kemampuan
mengartikulasikan
keterampilan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan
kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan
pemerintahan.Ketiga kompetensi tersebut diartikulasi oleh mahasiswa untuk
mengadakan pembelajaran (transfer of learning), pengalihan nilai (transfer of
value) dan pengalihan prinsip-prinsip (transfer of principles) pendidikan
agama, pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan.Kemampuan mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan
membangun kearifan diri (self wisdom) dalam menggunakan kepercayaan yang
diberikan masyarakat merupakan tuntutan dasar kelompok mata kuliah
pengembangan kepribadian.
Ruang Lingkup Materi dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.38/DIKTI/Kep/2002
pada pasal 4 dinyatakan bahwa subsatansi kajian Pendidikan
Kewarganegaraan adalah sebagai berikut, a. Pengantar - Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok MPK - Sejarah Pendidikan
Kewarganegaraan. b. Hak asasi manusia - Pengakuan atas martabat dan
hak-hak yang sama sebagai manusia hidup didunia. -
Penghargaan dan penghormatan atas hak-hak manusia dengan
perlindungan hukum. c. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia - Proses
berbangsa dan bernegara - Hak - Kewajiban d. Belanegara - Makna bela negara -
Implementasi bela negara - Demokrasi - Demokrasi dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. e. Wawasan Nusantara - Latar belakang filosofis wawasan
nusantara
- Implementasi wawasan nusantara dalam mewujudkan persatuandan
kesatuan bangsa. f. Ketahanan Nasional - Konsep ketahanan nasional yang
dikembangkan untuk menjamin kelngsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan
negara. - Fungsi ketahanan nasional sebagai kondisi doktrin dan
metodedalam kehidupan dan perdagangan bebas. g. Politik
Strategi Nasional - Politik dan strategi nasional sebagai politik nasional dan
strategi nasional untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi
kehidupandan perdagangan bebas. - Politik nasional sebagai hakikat
material politik negara. - Strategi nasional sebagai hakikat seni dan ilmu
politik pembangunan nasional. Bila dicermati dari substansi kajian Pendidakan
Kewarganegaraan diatas, telah mengarah pada paradigma demokrasi, sekaligus untuk
memperkecil anggapan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengandung kelemahan.
Kelemahan yang dimaksud sebagaimana yang dikemukakan
oleh Winataputra (1999) bahwa materi pendidikan kewarganegaraan
menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma,
sehingga telah mengakibatkan ketidak jelasan, baik dalam tataran konseptual
maupun tataran praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut, yaitu
(1) kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan
(2)
penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral
behavioristik, terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung
indoktrinatif (value inculcation)
(3) ketidakkonsistenan penjabaran
berbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dalam kurikulum
pendidikan kewarganegaraan
(4) keterisolasian proses pembelajarandari
konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya.
Sejalan dengan
pendapat di atas, Wahab (1999) mengemukakan beberapa kelemahan
pendidikan kewarganegaraan di masa yang lalu sebagai berikut:
(1) terlalu
menekankan pada aspek nilai moral belaka yang menempatkan siswa sebagai
objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu
(2) kurang diarahakan
pada pemahaman struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan segala
kelengkapannya
(3) pada umumnya
bersifat dogmatisdan relatif
(4) berorientasi
kepada kepentingan rezim yang berkuasa. Lebih lanjut untuk menyikapi
kelemahan-kelemahan pendidikan kewarganegaraan yang ada sebelumnya, maka
paradigma baru pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi
telah dilihat secara holistik dan kontekstual dalam
tataranideal, instrumental dan praksis dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsadan bernegara. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Paradigma
pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi
dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen,
materi, dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan,
palingtidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu
paradigma feodalistik dan paradigma humanistik. Paradigma feodalistik
mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan tempat
melatih dan mempersiapkan peserta
didik untuk masa datang. Oleh karena itu, peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai objek semata dalam pembelajaran,
sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu kebenaran dan informasi,
berperilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajaran disusun secara
rigid sehingga memasung kreativitas mahasiswa dan dosen. Sementara itu,
manajemen pendidikan termasuk manajemen pembelajaran bersifat
sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam penerapan strategi
pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. Sementara itu, paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi
bahwa pesrta didik adalah manusia yang mempunyai potensi karakteristik
yang berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan ini mahasiswa
ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi
pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar mahasiswa,
bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut
bersifat kontekstual dan memiliki
relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Bjuga
manajemen pendidikan dan pembelajarannya menekankan
padadimensi desntralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan
penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan demokratis.
Mencermati arah perubahan dan penyempurnaan rambu-rambu
pelaksanaan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah
ditetapkanoleh Ditjen Dikti di atas, telah mengindikasikan mempergunakan
paradigma humanistik. Tantangan Global
Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai
dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung
banyak implikasi bagi kehidupan manusia (Khor, 2000). Integrasi dunia
diperkirakan menimbulkan
efek ganda (multiplier effect) dan diharapkan
dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peningkatan
upah rielse hingga kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan
dukungan berbagai keunggulan (sumber daya manusia dan teknologi)
barangkali harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan. Namun, bagi
kebanyakan negara berkembang dengan berbagai kondisi keterbelakangan merasa
khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik modal (negara maju).
Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005)
menyatakan bahwa universitas di negara-negara Dunia Ketiga semakin tidak
memiliki kemampuan untuk mencegah hadirnya paling sedikit tiga ragam
perubahan sangat problematik. Pertama
universitas harus menyaksikan
hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang semakin dikendalikan
oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar pada
gilirannya telah menghasilkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi
informasi dan
dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia
menghasilkan keuntungan. Kedua globalisasi teknologi informasi juga
telahdan akan mengakibatkan masyarakat dan ekonomi kita semakin tumbuh
menjadi sebuah “corporate capitalism” yang akan semakin didominasi
olehinstitusi-institusi korporatis di dalam bentuk organisasi oligopolis atau
bahkan monopolis. Ketiga sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akankita
saksikan semakin transparan adalah meningkatnya kesenjangan kelas (class
inequality) yang akan semakin menguasai dinamika perkembangan masyarakat dan
ekonomi kita pada masa mendatang. Tantangan sangat besar yang harus dijawab
oleh setiap universitas dimasa depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dandidefinisikan kembali dalam bentuknya yang lebih kontekstual untuk
menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang semakin keras
saatini dan di masa depan. Misi
universitas harus dikontekstualisasikan dan
direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui tridharma universitas benar-benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-perubahan global. Implikasi kelembagaan aktualisasinya menurut Nasikun(2005) adalah sebagai berikut.
Pertama pengembangan kurikulum yang dibangun di atas akomodasi perspektif
multidisipliner atau transdisipliner,
dimana komposisi mata kuliah memiliki kemampuan yang kuat untuk
mengembangkan dialog antara disiplin ilmu pengetahuan tanpa haruskehilangan fokus perhatiannya pada pengembangan
ilmu sendiri. Kedua ,dalam penyelenggaraan program studi ilmu sosial dan
humaniora, kebijakanyang dimaksud harus secara jelas didesain untuk membongkar
dan mengikismonisme epistemologis, teoretis, metodologis. Ketiga
, struktur organisasilembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan
harus dikembangkan.Menyadari akan tantangan perubahan, baik lokal, nasional,
maupunglobal semakin berat, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampumenumbuhkan
sikap mental cerdas, penuh tanggung jawab dari mahasiswauntuk mampu memahami,
menganalisis, serta menjawab berbagai
masalahyang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara tepat, rasional,konsisten, berkelanjutan
serta menjadi warga negara yang tahu hak dankewajibannya
menguasai iptek serta dapat menemukan jati dirinya, dan dapatmewujudkan
kehidupan yang demokratis, berkeadilan, dan berkemanusiaan.Untuk mewujudkan
harapan-harapan di atas, langkah konkrit
yangharus dilakukan adalah mengemas dan mengisi kurikulum berbasiskompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan hal-hal sebagai berikut.
Pertama , kemampuan-kemampuan berpikir kritis kritis mahasiswa. Kedua
,kemampuan mengenali dan mendekati maslah sebagai
masyarakat global. Ketiga
, kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati
perbedaan budaya. Keempat, kemampuan menyelesaikan konflik secaradamai.
Kelima, kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok
yang sudah biasa guna melindungi lingkungan. Keenam
, kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal,
nasional, dan internasional
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. KONSEP DAN BENTUK PEMERINTAHAN
DEMOKRASI DALAM NEGARA
Demokrasi adalah suatu
bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat,
baik secara langsung atau melalui perwakilan. Istilah demokrasi berasal dari
bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti “rakyat” dan “kratos” yang berarti
kekuasaan. Istilah demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Aristosteles
sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa
kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburg nya mendefiniskan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi
pemerintahan dipegang oleh rakyat.
Bentuk-bentuk
demokrasi
Secara umum terdapat dua
bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan (tak
langsung). Berikut penjelasan tentang dua hal tersebut :
Demokrasi langsung
merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat mewakili dirinya sendiri
dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memilih pengaruh langsung
terhadap keadaan politik yang terjadi. Di era modern, sistem ini tidak praktis
karena umumnya suatu populasi negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh
rakyat ke dalam satu forum tidaklah mudah, selain itu sistem ini menuntut
partisipasi yang tinggi dari rakyat, sedangkan rakyat modern cenderung tidak
memiliki waktu untuk mempelajari setiap permasalahan politik yang terjadi di
dalam negara.
Demokrasi perwakilan
(tidak langsung) merupakan demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam
setiap pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi
mereka.
Prinsip-prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan
prasyarat berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi
Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi dapat ditinjau
dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan “soko guru demokrasi”. Menurut
Almadudi, prinsip demokrasi adalah :
1.Kedaulatan rakyat.
2.Pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
3.Kekuasaan Mayoritas.
4.Hak-hak minoritas.
5.Jaminan Hak Asasi
Manusia (HAM).
6.Pemilihan yang adil,
bebas, dan jujur.
7.Persamaan di depan
hukum.
8.Proses hukum yang
wajar.
Pembatasan pemerintah
secara kontitusional.
Pluralisme ekonomi,
politik, dan sosial.
Nilai-nilai toleransi,
pragtisme, kerja sama, dan mufakat.
Bentuk Demokrasi dalam
Pemerintahan Negara
Ada dua bentuk
demokrasi dalam sebuah pemerintahan negara, yaitu :
1.Pemerintahan Monarki
(monarki mutlak, monarki konstitusional, monarki parlementer). Monarki berasal
dari bahasa Yunani. Monos yang artinya Satu dan Archein artinya Pemerintah,
jadi dapat di artikan sebagai sejenis pemerintahan dalam suatu negara yang di
pimpin oleh satu orang (raja). Monarki dibagi ke dalam 3 jenis yaitu :
Monarki Mutlak :
Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja dan bentuk
kekuasaannya tidak terbatas.
Monarki Konstitusional
: Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja namun
kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi.
Monarki Parlementer :
Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja namun
kekuasaannya yang tertinggi berada ditangan parlemen.
2.Pemerintahan
Republik, berasal dari bahasa latin RES yang artinya pemerintahan dan PUBLICA
yang berarti rakyat. Dengan demikian dapat diartikan sebagai pemerintahan yang
dijalankan oleh dan untuk kepentingan orang banyak.
Menurut John Locke,
kekuasaan pemerintahan negara dipisahkan menjadi tiga, yaitu :
1.Kekuasaan Legislatif
(kekuasaan untuk membuat undang-undang yang dijalankan oleh parlemen).
2.Kekuasaan Eksekutif
(kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yang dijalankan oleh pemerintahan).
3.Kekuasaan Federatif
(kekuasaan untuk menyatakan perang dan damai dan tindakan-tindakan lainnya
dengan luar negeri).
4.Sedangkan Kekuasaan
Yudikatif (mengadili) merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif.
Kemudian menurut
Montesque (Trias Politica) menyatakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi dan
dilaksanakan oleh tiga orang atau badan yang berbeda-bedadan terpisah satu sama
lainnya (independent/berdiri sendiri) yaitu :
1.Badan Legislatif :
Kekuasaan membuat undang-undang.
2.Badan Eksekutif :
Kekuasaan menjalankan undang-undang.
3.Badan Yudikatif :
Kekuasaan untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang.
Klasifikasi Sistem
Pemerintahan
Dalam sistem
kepartaian dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu sistem multi partai
(polyparty system), sistem dua partai (biparty system), dan sistem satu partai
(monoparty system). Sistem pengisian jabatan dilakukaan oleh pemegang kekuasaan
negara, hubungan antar pemegang kekuasaan negara, terutama antara eksekutif dan
legislatif.
Mengenai model sistem
pemerintahan negara, ada empat macam, yaitu :
Sistem pemerintahan
diktator (borjuis dan proletar).
Sistem pemerintahan
parlementer.
Sistem pemerintahan
presidensial, dan
Sistem pemerintahan
campuran.
Ciri-ciri Pemerintahan
Demokratis
Ciri-ciri dari sistem
pemerintahan yang demokratis dalam suatu negara, adalah :
Adanya keterlibatan
warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung
atau perwakilan.
1.Adanya persamaan hak
bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
2.Adanya kebebasan dan
kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
3.Adanya pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat.
Konsep Demokrasi
Republik Indonesia
Seperti yang kita
ketahui, konsep demokrasi sudah berkembang sejak 200 tahun yang lalu. Konsep
ini telah diperkenalkan oleh Plato dan Aristosteles dengan isyarat untuk penuh
hati-hati pada saat hendak menggunakan konsep demokrasi ini. Menurut mereka,
demokrasi itu memiliki dua sisi yang sangat berbeda. Disatu sisi sangat baik,
namun disisi lain juga dapat menjadi sangat kejam.
Mungkin Indonesia
menjadi salah satu penganut sistem demokrasi yang telah merasakan secara
nyata apa yang di khawatirkan oleh Plato
dan Aristosteles. Konsep demokrasi sangat mendewakan kebebasan, sehingga pada
akhirnya nanti tidak mustahil dapat menimbulkan anarki. Oleh sebab itu, yang
diperlukan disini adalah bagaimana mekanisme yang paling tepat untuk mengontrol
konsep demokrasi yang ada pada saat ini.
Dalam penerapannya,
konsep demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dipandang sebagai
sebuah mekanisme dan cita-cita untuk mewujudkan suatu kehidupan berkelompok
yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam UUD 1945 yang disebut kerakyatan.
Dapat disimpulkan juga
bahwa konsep demokrasi atau pemerintahan rakyat yang diterapkan dinegara
Indonesia itu berdasarkan pada tiga hal, yaitu :
1.Nilai-nilai filsafah
pancasila atau pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat berdasarkan sila-sila
pancasila.
2.Transformasi
nilai-nilai pancasila pada bentuk dan sistem pemerintahan.
3.Merupakan
konsekuensi dan komitmen terhadap nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3. Pengertian
Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Pusat
Pemerintahan Daerah
dan Pusat
A. Pemerintahan Daerah
Pengertian Pemerintah
Daerah Bedasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah), menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI(Negara
Kesatuan Republik Indonesia), sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Penyelenggara
Pemerintahan Daerah:
Gubernur, Bupati,
Walikota, dan perangkat daerah lainnya(kepala dinas, kepala badan, dan
unit-unit kerja lannya yang dikendalikan oleh Sekretariat Daerah).
B. Pemerintahan Pusat
Pengertian
Pemerintahan Pusat adalah Pemerintah, yaitu Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Hubungan dalam fungsi
pemerintahan antara pemerintahan pusat dan juga pemerintahan daerah
dilaksanakan dengan sistem Otonomi, dalam sistem otonomi ini dikenal dengan
adanya desentralisasi, dekosentrasi dan juga tugas pembantuan. Hubungan ini
memiliki sifat koordinatif administratif, yang artinya hakikat fungsi
pemerintahan ini tidak ada yang saling membawahi, agar terjadinya harmonisasi
antara daerah maupun pusat.
Dari pengertian
diatas, dapat dilihat bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan
negara, sedangkan Gubernur,bupati/walikota ialah pemegang kekuasaan pemerintah
daerah.
Dalam ajaran “Trias
Politica” yang dikemukakan oleh Montesque, dimana kekuasaan pemerintahan
terpisah atas kekuasaan Eksekutif, kekuasaan Legislatif dan juga kekuasaan
Yudikatif.
Namun berbeda dengan
sistem Pemerintahan di Indonesia, di Indonesia sendiri tidaklah menerapkan
sistem pemisahan kekuasaan, tetapi adanya sistem pembagian kekuasaan yang dapat
diimlementasikan dalam
a. Kekuasaan Eksekutif yang dilakukan oleh
presiden RI beserta wakil presiden dan mentri-mentrinnya.
b. Kekuasaan Legislatif yaitu dalam membuat
peraturan yang dikenal dengan Undang-Undang yang dilakukan oleh DPRD Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Kekuasaan Yudikatif yaitu dalam bidang
peradilan, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta perangkatperangkatnya di
daerah.
Tujuan dari Pembagian
Kekuasaan
Tujuan dari pembagian
kekuasaan yang telah dianut di Indonesia dan dijalankan oleh pemerintahan
Indonesia ini bertujuan agar tidak terjadinya penumpukan kekuasaan yang mana
dalam penerapannya jika terjadi penumpukan kekuasaan akan terbentuknya
pemerintahan ditaktor/otoriter yang dapat menghalangi Demokrasi.
Sekian Pengertian
Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Pusat
0 komentar:
Posting Komentar