Kamis, 10 Maret 2016

TUGAS KEWENEGARAAN SOFTSKILL MINGGU KE 2





Tugas Softskill minggu ke-2
soal :
1. buat tulisan tentang pentingnya pendidikan kewenegaraan pada tingkat pendidikan universitas
2. bagaimana konsep demokrasi di indonesia
3. apa yang di maksud denganpemerintah pusat, wilayah dan daerah

jawab :

1. Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan di universitas

Secara yuridis, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi atau universitas cukup kuat, dan sebagai mata kuliah yang wajib diikutioleh seluruh mahasiswa. Hal itu tampak jelas dalam pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat di era reformasi, mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, telah dilakukan perubahan paradigma menuju kepada paradigma humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Indikasi ke arah itu tampak dari substansi kajian, strategi, dan evaluasi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang ditawarkan kepada mahasiswa. Sementara itu,dalam mengantisipasi tuntutan global, pembelajaran diorientasikan agar paramenangkal dampak negatif globalisasi. Globalisasi dan ekspansi pasar perlu diimbangi kebebasan politik Pancasila sehingga mahasiswa sadar dan mampu memperjuangkan hak-hak politiknya secara benar, rasional dan bertanggung jawab. Upaya ke arah itu dapat dilakukan dengan mengisi dan memantapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan memberi kemampuan kritis kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa secara sadar dan jujur melakukan kritik dan evaluasi tentang manfaat globalisasi. Pendahuluan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaandan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and character building. Namun demikian, dalam pelaksanaannya ia sangat rentan terhadap bias politik praktis penguasa, sehingga cenderung lebih merupakan instrumen penguasa daripada sebagai wahana pembentukan watak bangsa. Hal yang hampir sama terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang seperti dikemukakan oleh (Cogan dalam Suryadi dan Somardi, 2000) menyatakan It (citizenship education) has also opten reflected the interests of those in power in a particular society and thus has been a matter of indoctrination and the establishment of ideological hegemony rather than of education. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dari era otoritarian ke era demokratisasi, Pendidikan Kewarganegaraan telah menggantikan Pendidikan Kewiraan karena sudah tidak relevan dengan semangat reformasi dan demokratisasi. Mata kuliah Pendidikan Kewiraan ditinggalkan karena berbagai alasan, antara lain sebagai berikut.
(1) karena pola pembelajaran yang indoktrinatif dan monolitik. (2) muatan materiajarnya yang sarat dengan kepentingan ideologi rezim (orde baru)                  (3) mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotor. Dengan demikian Pendidikan Kewiraan telah keluar dari semangat dan hakikat Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan pendidikan demokrasi.Menyadari realitas tersebut, diperlukan upaya rekonstruksi dan reorientasi Pendidikan Kewarganegaraan melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sebagai substitusinya. Upaya substitusi mata kuliah pendidikan Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak bisa lepas dari konteks ikhtiar kalangan perguruan tinggi untuk menemukan format baru pendidikan demokrasi di Indonesia sekaligus mengantisipasi tuntutan global.Globalisasi ditandai oleh kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang ikut mengatur perpolitikan, perekonomian, sosial budaya, dan pertahanan keamanan global.Isu-isu global seperti demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi juga ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi membuat dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi sebuah kampung tanpa mengenal batas negara. Kondisi ini akan mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan tindakan masyarakat Indonesia. Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) pada masa reformasi ini haruslah benar-benar dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia menciptakan demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang relevan dengan tuntutan global. Tentunya ekspektasi ini harus disertai dengan tindakan nyata bangsa ini, khususnya kalangan Perguruan Tinggi untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) sangat penting artinya bagi penumbuhan budaya demokrasi di Indonesia.Untuk mencapai tujuan pendidikan kewarganegaraan seperti tersebutdi atas, sangat dibutuhkan model dan strategi pembelajaran yang humanistik yang mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Mahasiswa diposisikan sebagai subjek, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan relevan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat lokal, nasional, dan global. Pembahasan Esensi dan Eksistensi Pendidikan Kewarganegaraan Menurut (Azra dalam ICCE, 2003) bahwa istilah Pendidikan Kewargaan pada satu sisi identik dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun disisi lain, istilah Pendidikan Kewargaan secara substantif tidak sajamendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan Kewarganegaraan.Sejalan dengan itu, (Zamroni dalam ICCE, 2003) berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang palingmenjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa. Menurut Soedijarto (dalam ICCE, 2003) mengartikan Pendidikan Kewarganegaraansebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang demokratis.Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan keberadaanya secara yuridis cukup kuat, hal ini dapat dilihat dalam UU No. 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewarganegaraan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan nation and character building. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan No. 45/U/2002 tentang kurikulum pendidikan tinggi berbasis kompetensi (KBK), yang dipertegas lagi dengan Keputusan Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002 tentang rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi.Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menekankan kejelasan hasil didik sebagai seseorang yang kompeten dalam hal, yakni (1) menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu, (2) menguasai penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam bentuk kekaryaan, (3) menguasai sikap berkarya, (4) menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat dengan pilihan kekaryaan.Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruantinggi bertujuan membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dan kebudayaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan. Dalam konteks mata kuliah pengembangan kepribadian kompetensi yang dimaksud merupakan kemampuan dan kecakapan yang terukur setelah mahasiswa mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan yang meliputi kemampuan akademik, sikap dan keterampilan. Dalam pembelajarannya minimal mencapai kompetensi dasar atau yang sering disebut kompetensi minimal terdiri atas tiga jenis, yaitu Pertama, kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan yang terkait dengan materi inti. Kedua, kecakapan dan kemampuan sikap. Ketiga, kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan.Ketiga kompetensi tersebut diartikulasi oleh mahasiswa untuk mengadakan pembelajaran (transfer of learning), pengalihan nilai (transfer of value) dan pengalihan prinsip-prinsip (transfer of principles) pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan.Kemampuan mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan membangun kearifan diri (self wisdom) dalam menggunakan kepercayaan yang diberikan masyarakat merupakan tuntutan dasar kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian. Ruang Lingkup Materi dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.38/DIKTI/Kep/2002 pada pasal 4 dinyatakan bahwa subsatansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai berikut, a. Pengantar - Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok MPK - Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan. b. Hak asasi manusia - Pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama sebagai manusia hidup didunia. - Penghargaan dan penghormatan atas hak-hak manusia dengan perlindungan hukum. c. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia - Proses berbangsa dan bernegara - Hak - Kewajiban d. Belanegara - Makna bela negara - Implementasi bela negara - Demokrasi - Demokrasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. e. Wawasan Nusantara - Latar belakang filosofis wawasan nusantara - Implementasi wawasan nusantara dalam mewujudkan persatuandan kesatuan bangsa. f. Ketahanan Nasional - Konsep ketahanan nasional yang dikembangkan untuk menjamin kelngsungan hidup menuju kejayaan bangsa dan negara. - Fungsi ketahanan nasional sebagai kondisi doktrin dan metodedalam kehidupan dan perdagangan bebas. g. Politik Strategi Nasional - Politik dan strategi nasional sebagai politik nasional dan strategi nasional untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi kehidupandan perdagangan bebas. - Politik nasional sebagai hakikat material politik negara. - Strategi nasional sebagai hakikat seni dan ilmu politik pembangunan nasional. Bila dicermati dari substansi kajian Pendidakan Kewarganegaraan diatas, telah mengarah pada paradigma demokrasi, sekaligus untuk memperkecil anggapan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud sebagaimana yang dikemukakan oleh Winataputra (1999) bahwa materi pendidikan kewarganegaraan menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma, sehingga telah mengakibatkan ketidak jelasan, baik dalam tataran konseptual maupun tataran praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut, yaitu (1) kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan
(2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral behavioristik, terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif (value inculcation)
(3) ketidakkonsistenan penjabaran berbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan
 (4) keterisolasian proses pembelajarandari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya. Sejalan dengan pendapat di atas, Wahab (1999) mengemukakan beberapa kelemahan pendidikan kewarganegaraan di masa yang lalu sebagai berikut:
(1) terlalu menekankan pada aspek nilai moral belaka yang menempatkan siswa sebagai objek yang berkewajiban untuk menerima nilai-nilai moral tertentu
(2) kurang diarahakan pada pemahaman struktur, proses, dan institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya
(3) pada umumnya bersifat dogmatisdan relatif

(4) berorientasi kepada kepentingan rezim yang berkuasa. Lebih lanjut untuk menyikapi kelemahan-kelemahan pendidikan kewarganegaraan yang ada sebelumnya, maka paradigma baru pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi telah dilihat secara holistik dan kontekstual dalam tataranideal, instrumental dan praksis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsadan bernegara. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Paradigma pendidikan terkait dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik, (mahasiswa), dosen, materi, dan manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan, palingtidak terdapat dua kutub paradigma pendidikan yang paradoksal, yaitu paradigma feodalistik dan paradigma humanistik. Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mempersiapkan peserta didik untuk masa datang. Oleh karena itu, peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan sebagai objek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas mahasiswa dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan termasuk manajemen pembelajaran bersifat sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam penerapan strategi pembelajarannya, sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. Sementara itu, paradigma humanistik mendasarkan pada asumsi bahwa pesrta didik adalah manusia yang mempunyai potensi karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan ini mahasiswa ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran, sementara dosen diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi pembelajaran yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Bjuga manajemen pendidikan dan pembelajarannya menekankan padadimensi desntralistik, tidak birokratis, mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan demokratis. Mencermati arah perubahan dan penyempurnaan rambu-rambu pelaksanaan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah ditetapkanoleh Ditjen Dikti di atas, telah mengindikasikan mempergunakan paradigma humanistik. Tantangan Global Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan manusia (Khor, 2000). Integrasi dunia diperkirakan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dan diharapkan dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peningkatan upah rielse hingga kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan dukungan berbagai keunggulan (sumber daya manusia dan teknologi) barangkali harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan. Namun, bagi kebanyakan negara berkembang dengan berbagai kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik modal (negara maju). Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005) menyatakan bahwa universitas di negara-negara Dunia Ketiga semakin tidak memiliki kemampuan untuk mencegah hadirnya paling sedikit tiga ragam perubahan sangat problematik. Pertama universitas harus menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang semakin dikendalikan oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar pada gilirannya telah menghasilkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi informasi dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh ia menghasilkan keuntungan. Kedua globalisasi teknologi informasi juga telahdan akan mengakibatkan masyarakat dan ekonomi kita semakin tumbuh menjadi sebuah “corporate capitalism” yang akan semakin didominasi olehinstitusi-institusi korporatis di dalam bentuk organisasi oligopolis atau bahkan monopolis. Ketiga sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akankita saksikan semakin transparan adalah meningkatnya kesenjangan kelas (class inequality) yang akan semakin menguasai dinamika perkembangan masyarakat dan ekonomi kita pada masa mendatang. Tantangan sangat besar yang harus dijawab oleh setiap universitas dimasa depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dandidefinisikan kembali dalam bentuknya yang lebih kontekstual untuk menghadapi tekanan perubahan-perubahan global yang semakin keras saatini dan di masa depan. Misi universitas harus dikontekstualisasikan dan direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui tridharma universitas benar-benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan perubahan-perubahan global. Implikasi kelembagaan aktualisasinya menurut Nasikun(2005) adalah sebagai berikut. Pertama pengembangan kurikulum yang dibangun di atas akomodasi perspektif multidisipliner atau transdisipliner, dimana komposisi mata kuliah memiliki kemampuan yang kuat untuk mengembangkan dialog antara disiplin ilmu pengetahuan tanpa haruskehilangan fokus perhatiannya pada pengembangan ilmu sendiri. Kedua ,dalam penyelenggaraan program studi ilmu sosial dan humaniora, kebijakanyang dimaksud harus secara jelas didesain untuk membongkar dan mengikismonisme epistemologis, teoretis, metodologis. Ketiga , struktur organisasilembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan harus dikembangkan.Menyadari akan tantangan perubahan, baik lokal, nasional, maupunglobal semakin berat, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan mampumenumbuhkan sikap mental cerdas, penuh tanggung jawab dari mahasiswauntuk mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai masalahyang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara tepat, rasional,konsisten, berkelanjutan serta menjadi warga negara yang tahu hak dankewajibannya menguasai iptek serta dapat menemukan jati dirinya, dan dapatmewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan, dan berkemanusiaan.Untuk mewujudkan harapan-harapan di atas, langkah konkrit yangharus dilakukan adalah mengemas dan mengisi kurikulum berbasiskompetensi (KBK) di perguruan tinggi dengan hal-hal sebagai berikut. Pertama , kemampuan-kemampuan berpikir kritis kritis mahasiswa. Kedua ,kemampuan mengenali dan mendekati maslah sebagai masyarakat global. Ketiga , kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan budaya. Keempat, kemampuan menyelesaikan konflik secaradamai. Kelima, kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan. Keenam , kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal, nasional, dan internasional






-------------------------------------------------------------------------------------------------------







2. KONSEP DAN BENTUK PEMERINTAHAN DEMOKRASI DALAM NEGARA

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti “rakyat” dan “kratos” yang berarti kekuasaan. Istilah demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Aristosteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg nya mendefiniskan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi pemerintahan dipegang oleh rakyat.

Bentuk-bentuk demokrasi

Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan (tak langsung). Berikut penjelasan tentang dua hal tersebut :

Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memilih pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Di era modern, sistem ini tidak praktis karena umumnya suatu populasi negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat ke dalam satu forum tidaklah mudah, selain itu sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat, sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari setiap permasalahan politik yang terjadi di dalam negara.
Demokrasi perwakilan (tidak langsung) merupakan demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam setiap pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.
Prinsip-prinsip Demokrasi

Prinsip demokrasi dan prasyarat berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan “soko guru demokrasi”. Menurut Almadudi, prinsip demokrasi adalah :

1.Kedaulatan rakyat.
2.Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
3.Kekuasaan Mayoritas.
4.Hak-hak minoritas.
5.Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).
6.Pemilihan yang adil, bebas, dan jujur.
7.Persamaan di depan hukum.
8.Proses hukum yang wajar.
Pembatasan pemerintah secara kontitusional.
Pluralisme ekonomi, politik, dan sosial.
Nilai-nilai toleransi, pragtisme, kerja sama, dan mufakat.
Bentuk Demokrasi dalam Pemerintahan Negara

Ada dua bentuk demokrasi dalam sebuah pemerintahan negara, yaitu :

1.Pemerintahan Monarki (monarki mutlak, monarki konstitusional, monarki parlementer). Monarki berasal dari bahasa Yunani. Monos yang artinya Satu dan Archein artinya Pemerintah, jadi dapat di artikan sebagai sejenis pemerintahan dalam suatu negara yang di pimpin oleh satu orang (raja). Monarki dibagi ke dalam 3 jenis yaitu :
Monarki Mutlak : Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja dan bentuk kekuasaannya tidak terbatas.
Monarki Konstitusional : Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja namun kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi.
Monarki Parlementer : Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja namun kekuasaannya yang tertinggi berada ditangan parlemen.
2.Pemerintahan Republik, berasal dari bahasa latin RES yang artinya pemerintahan dan PUBLICA yang berarti rakyat. Dengan demikian dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh dan untuk kepentingan orang banyak.
Menurut John Locke, kekuasaan pemerintahan negara dipisahkan menjadi tiga, yaitu :

1.Kekuasaan Legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang yang dijalankan oleh parlemen).
2.Kekuasaan Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yang dijalankan oleh pemerintahan).
3.Kekuasaan Federatif (kekuasaan untuk menyatakan perang dan damai dan tindakan-tindakan lainnya dengan luar negeri).
4.Sedangkan Kekuasaan Yudikatif (mengadili) merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif.
Kemudian menurut Montesque (Trias Politica) menyatakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga orang atau badan yang berbeda-bedadan terpisah satu sama lainnya (independent/berdiri sendiri) yaitu :

1.Badan Legislatif : Kekuasaan membuat undang-undang.
2.Badan Eksekutif : Kekuasaan menjalankan undang-undang.
3.Badan Yudikatif : Kekuasaan untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang.


Klasifikasi Sistem Pemerintahan

Dalam sistem kepartaian dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu sistem multi partai (polyparty system), sistem dua partai (biparty system), dan sistem satu partai (monoparty system). Sistem pengisian jabatan dilakukaan oleh pemegang kekuasaan negara, hubungan antar pemegang kekuasaan negara, terutama antara eksekutif dan legislatif.

Mengenai model sistem pemerintahan negara, ada empat macam, yaitu :

Sistem pemerintahan diktator (borjuis dan proletar).
Sistem pemerintahan parlementer.
Sistem pemerintahan presidensial, dan
Sistem pemerintahan campuran.
Ciri-ciri Pemerintahan Demokratis

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan yang demokratis dalam suatu negara, adalah :

Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung atau perwakilan.
1.Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
2.Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
3.Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat.
Konsep Demokrasi Republik Indonesia

Seperti yang kita ketahui, konsep demokrasi sudah berkembang sejak 200 tahun yang lalu. Konsep ini telah diperkenalkan oleh Plato dan Aristosteles dengan isyarat untuk penuh hati-hati pada saat hendak menggunakan konsep demokrasi ini. Menurut mereka, demokrasi itu memiliki dua sisi yang sangat berbeda. Disatu sisi sangat baik, namun disisi lain juga dapat menjadi sangat kejam.

Mungkin Indonesia menjadi salah satu penganut sistem demokrasi yang telah merasakan secara nyata  apa yang di khawatirkan oleh Plato dan Aristosteles. Konsep demokrasi sangat mendewakan kebebasan, sehingga pada akhirnya nanti tidak mustahil dapat menimbulkan anarki. Oleh sebab itu, yang diperlukan disini adalah bagaimana mekanisme yang paling tepat untuk mengontrol konsep demokrasi yang ada pada saat ini.

Dalam penerapannya, konsep demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah mekanisme dan cita-cita untuk mewujudkan suatu kehidupan berkelompok yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam UUD 1945 yang disebut kerakyatan.

Dapat disimpulkan juga bahwa konsep demokrasi atau pemerintahan rakyat yang diterapkan dinegara Indonesia itu berdasarkan pada tiga hal, yaitu :

1.Nilai-nilai filsafah pancasila atau pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat berdasarkan sila-sila pancasila.
2.Transformasi nilai-nilai pancasila pada bentuk dan sistem pemerintahan.
3.Merupakan konsekuensi dan komitmen terhadap nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.





------------------------------------------------------------------------------------------------------------------






3. Pengertian Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Pusat

Pemerintahan Daerah dan Pusat
A.    Pemerintahan Daerah
Pengertian Pemerintah Daerah Bedasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI(Negara Kesatuan Republik Indonesia), sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah:
Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah lainnya(kepala dinas, kepala badan, dan unit-unit kerja lannya yang dikendalikan oleh Sekretariat Daerah).

B.     Pemerintahan Pusat
Pengertian Pemerintahan Pusat adalah Pemerintah, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Hubungan dalam fungsi pemerintahan antara pemerintahan pusat dan juga pemerintahan daerah dilaksanakan dengan sistem Otonomi, dalam sistem otonomi ini dikenal dengan adanya desentralisasi, dekosentrasi dan juga tugas pembantuan. Hubungan ini memiliki sifat koordinatif administratif, yang artinya hakikat fungsi pemerintahan ini tidak ada yang saling membawahi, agar terjadinya harmonisasi antara daerah maupun pusat.

Dari pengertian diatas, dapat dilihat bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan negara, sedangkan Gubernur,bupati/walikota ialah pemegang kekuasaan pemerintah daerah.


Dalam ajaran “Trias Politica” yang dikemukakan oleh Montesque, dimana kekuasaan pemerintahan terpisah atas kekuasaan Eksekutif, kekuasaan Legislatif dan juga kekuasaan Yudikatif.
Namun berbeda dengan sistem Pemerintahan di Indonesia, di Indonesia sendiri tidaklah menerapkan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi adanya sistem pembagian kekuasaan yang dapat diimlementasikan dalam
a.       Kekuasaan Eksekutif yang dilakukan oleh presiden RI beserta wakil presiden dan mentri-mentrinnya.
b.      Kekuasaan Legislatif yaitu dalam membuat peraturan yang dikenal dengan Undang-Undang yang dilakukan oleh DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c.       Kekuasaan Yudikatif yaitu dalam bidang peradilan, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung serta perangkatperangkatnya di daerah.

Tujuan dari Pembagian Kekuasaan
Tujuan dari pembagian kekuasaan yang telah dianut di Indonesia dan dijalankan oleh pemerintahan Indonesia ini bertujuan agar tidak terjadinya penumpukan kekuasaan yang mana dalam penerapannya jika terjadi penumpukan kekuasaan akan terbentuknya pemerintahan ditaktor/otoriter yang dapat menghalangi Demokrasi.

Sekian Pengertian Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Pusat

0 komentar: